Rabu, 11 November 2009

Buku Induk LPI Hidayatullah

Rabu, 11 November 2009 |
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Sesungguhnya dewasa ini di tengah-tengah masyarakat sedang berlangsung berbagai krisis multidimensional dalam segala aspek kehidupan. Kemiskinan, kebodohan, kedzaliman, penindasan, ketidakadilan di segala bidang, kemerosotan moral, peningkatan tindak kriminal dan berbagai bentuk, penyakit sosial dll, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan belasan juta orang kehilangan pekerjaan. Sementara jutaan anak harus putus sekolah. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari korupsi, narkoba, pembunuhan, tindak asusila, budaya permisif, pornografi dan pornoaksi dll terasa semakin meningkat. Di sisi lain, sekalipun pemerintahan baru telah terbentuk, namun kestabilan politik yang diharapkan belum juga kunjung terujud. Mengapa semua ini terjadi?


Dalam keyakinan Islam, berbagai krisis tadi merupakan fasad (kerusakan) yang ditimbulkan oleh karena tindakan manusia sendiri. Ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surah ar-Rum ayat 41:
Tulisan arabnya………………………………
“Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan
oleh karena tangan-tangan manusia”.
(QS. Ar Rum: 41)
Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitab Shafwatu al-Tafasir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bimaa kasabat aydinnas dalam ayat itu adalah “oleh karena kemaksiyatan-kemaksiyatan dan dosa-dosa yang dilakukan manusia (bi sababi ma’ashi al-naas wa dzunu bihim)”. Maksiyat adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah, yakni melakukan yang dilarang dan meninggalkan yang diwajibkan. Dan setiap bentuk kemaksiyatan pasti menimbulkan dosa.
Selama ini, terbukti di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali kemaksiyatan dilakukan. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan Islam memang tidak digunakan. Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan Tuhannya saja. Sementara dalam urusan sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan.
Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama (Islam). Akan terbentuk tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan agama (Islam) atau tidak. Aturan Islam yang sempurna dirasakan justru menghambat. Sementara dalam tatanan politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk tegaknya nilai-nilai melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya.
Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat “para pengikutnya” ke arah mana “kemajuan budaya” harus diraih. Kesanalah, dalam musik, mode, makanan, film, bahkan gaya hidup ala Barat orang mengacu. Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik-sekuleristik adalah makin menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Tatanan bermasyarakat yang ada telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Koreksi sosial hampir-hampir tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat.
Sikap beragama sinkretistik intinya adalah menyamadudukkan semua agama. Semua agama adalah sama-sama benar. Tidak ada yang paling benar. Paham ini bertumpu pada tiga doktrin: (1) Bahwa, menurut mereka, kebenaran agama itu bersifat subyektif sesuai dengan sudut pandang setiap pemeluknya; (2) Maka, sebagai konsekuensi dari doktrin pertama, kedudukan semua agama adalah sama sehingga tidak boleh saling mendominasi; (3) oleh karena itu, dalam masyarakat yang terdiri dari banyak agama, diperlukan aturan hidup bermasyarakat yang mampu mengadaptasi semua paham dan agama yang berkembang di dalam masyarakat. Sikap beragama seperti ini menyebabkan sebagian umat Islam telah memandang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan memusuhi aturan agamanya sendiri. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang Muslim harus meyakini hanya Islam saja yang diridhai Allah SWT.
Sementara itu, sistem pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus menguasai iptek. Secara formal kelembagaan, sekulerisasi pendidikan ini telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua departamen yang berbeda, yakni Depag dan Depdikbud. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh oleh standar nilai agama. Kalaupun ada hanyalah etik (ethic) yang tidak bersandar pada nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius.
Jauh sebelumnya, bahkan Hilliard (1966) -- penulis masalah kekristenan dalam pendidikan (Christianity in Education) – seperti yang dikutip oleh Husain dan Asharaf (1994) dalam buku Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, secara transparan telah menjelaskan bahwa sekulerisasi pendidikan memang telah meruncing dan akhirnya benar-benar terbentuk di barat pada abad ke-15 dan 16, yakni ketika terjadi pemisahan cabang-cabang ilmu sekuler dengan cabang-cabang ilmu yang bersumber dari agama. Cabang-cabang ilmu sekuler dinyatakan terputus kaitannya dengan persoalan ilahiyah dan sumber dari cabang-cabang sekuler dinyatakan sebagai akal manusia semata yang tidak perlu dihubungkan dengan agama. Sekulerisasi ini terus berproses dan akhirnya mendorong munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikategorisasikan pada tahun 1957 oleh para rektor universitas-unversitas Amerika sebagai “Ilmu-ilmu Sastra, Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu Alam”. Penggolongan ini yang kemudian menjadi populer tidak hanya di Amerika dan Eropa tetapi juga di dunia Muslim. Bahkan, dalam perencanaan kurikulum untuk unviersitas-universitas Amerika, ilmu bernuansa agama tidak dimasukan ke dalam pengajaran wajib. Para siswa hanya diharapkan mempunyai pengetahuan dasar mengenai ketiga cabang tersebut.
Pendidikan yang materialistik memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam oleh orang tua siswa. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.
Pengamatan secara mendalam atas semua hal di atas, membawa kita pada satu kesimpulan yang sangat mengkhawatirkan: bahwa semua itu telah menjauhkan manusia dari hakikat kehidupannya sendiri. Manusia telah dipalingkan dari hakikat visi dan misi penciptaannya.
Fakta krisis kehidupan, akar permasalahan yang sesungguhnya, berikut solusi ideal yang bersifat fundamental secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1. Bagan Skematis Akar dan Solusi Problematika Kehidupan.

AKAR PERMASALAHAN
Akar permasalahan mendasar dari berbagai krisis yang tengah kita hadapi adalah tegaknya sistem kehidupan sekuler. Tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik dan paradigma pendidikan yang materialistik serta sisi kehidupan sekuler lainnya sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya sebenarnya hanyalah buah atau merupakan problema-problema cabang yang muncul dari diterapkannya sistem kehidupan sekuleristik tadi.
Sekulerisme oleh Muhammad Qutb (1986) dalam bukunya Ancaman Sekulerisme, diartikan sebagai iqomatu al hayati ‘ala ghayri asasin mina al-dini, yakni membangun struktur kehidupan di atas landasan selain agama (Islam). Pemikiran sekulerisme itu sendiri berasal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad pertengahan. Saat itu, kekuasaan para agamawan (rijaluddin) yang berpusat di gereja demikian mendominasi hampir semua lapangan kehidupan, termasuk di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ilmuwan dan negarawan melihat kondisi ini sebagai suatu hal yang sangat menghambat kemajuan, sebab temuan-temuan ilmiah yang rasional sekalipun tidak jarang bertabrakan dengan ajaran geraja yang dogmatis. Galileo Galilei dan Copernicus yang menolak mengubah pendapatnya bahwa mataharilah yang menjadi sentra perputaran planet-planet (heliosentris) dan bukan bumi (geosentris) sebagaimana yang didoktrinkan geraja selama ini, akhirnya dihukum mati. Maka sampailah para ilmuwan dan negarawan itu pada satu kesimpulan bahwa bila ingin maju, masyarakat harus meninggalkan agama; atau membiarkan agama tetap di wilayah ritual peribadatan sementara wilayah duniawi (politik, pemerintahan, iptek, ekonomi, tata sosial, pendidikan dan lainnya) harus steril dari agama. Inilah awal munculnya pemahaman sekulerisme.
Faktual

Akar
Masalah
Solusi Funda-mental

KRISIS KEHIDUPAN MULTIDIMENSIONAL
(kemiskinan, kebodohan, kedzaliman, kemerosotan moral, ketidakadilan, dll.)
SISTEM KEHIDUPAN JAHILIYAH
Dengan idiologi “Sekulerisme”
Ekonomi
Kapitalistik
Politik
Oportunistik
Pendidikan
Materialistik
Tata Sosial
Individualistik
Budaya
Hedonistik
sekolah
TEGAKNYA PERADABAN ISLAM
Tatanan kehidupan
berdasarkan Qur’an & Sunnah
Ekonomi

Politik

Pendidikan
Tata Sosial

Budaya

Keluarga
Masyarakat




























Gambar 1. Bagan Skematis Akar dan Solusi Problematika Kehidupan
Tetapi, satu hal yang harus diperhatikan benar adalah bahwa gugatan yang menyangkut eksistensi atau peran agama di tengah masyarakat ini sebenarnya terjadi khas pada agama Kristen saja yang ketika itu memang sudah tidak lagi up to date. Karenanya, menjadi suatu kejanggalan besar bila gugatan tadi lantas dialamatkan pula pada Islam, agama yang sempurna lagi paripurna dan diridloi Allah SWT bagi seluruh umat manusia.
Islam jelas tidak mengenal pemisahan antara urusan ritual/agama dengan urusan duniawi. Shalat adalah ibadah yang merupakan bagian dari syariat dimana seluruh umat Islam harus terikat sebagaimana keterikatan kaum muslimin pada syariat di bidang yang lain, seperti ekonomi, sosial dan politik. Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah, karena Islam adalah sebuah totalitas. Merupakan tindak kekufuran bagi seorang muslim bila beriman kepada ajaran Islam hanya sebagian dan menolak sebagian yang lain. Oleh karena itu, benar-benar sangat aneh jika umat Islam ikut-ikutan menjadi sekuler.

SOLUSI FUNDAMENTAL
Mengingat beratnya persoalan atau krisis yang dihadapi, maka semua itu hanya mungkin dihadapi melalui solusi yang paradigmatik dan integral. Solusi ini diambil karena semua problema yang ada sesungguhnya berpangkal pada sistem yang lahir dari pandangan hidup yang salah, yaitu sekulerisme. Sekulerisme memang nyata-nyata bertentangan dengan Islam, mengingkari fitrah tauhid manusia dan bertentangan dengan akal sehat. Berbagai problema tersebut di atas, menghendaki solusi yang integral oleh karena kerusakan yang terjadi telah menyentuh semua sendi kehidupan manusia. Penyelesaian secara parsial tidak akan menyelesaikan secara tuntas berbagai krisis itu. Bahkan sebaliknya bisa memicu problema baru yang mungkin tidak kalah gawatnya. Solusi paradigmatik dan integral yang dimaksud tidak lain adalah dengan cara menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang pendidikan, berlandaskan pada aturan Qur’an dan sunnah Rasul.

PENDIDIKAN
Pendidikan yang materialistik -- sebagaimana dapat dicermati pada Gambar 2. Bagan Skematis Akar Masalah Pendidikan dan Solusi Paradigmatiknya – adalah buah dari cara pandang terhadap sistem kehidupan secara tidak utuh dan sekuleristik, yaitu cara pandang antroposentris-sekularistik. Cara pandang tersebut terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yang sesuai dengan visi, misi dan orientasi penciptaanya, yakni sebagai ‘abdullah dan khalifatullah.
Gagal membentuk manusia sesuai
visi & misi penciptaannya sebagai hamba sekaligus khalifah Allah SWT
PENDIDIKAN ISLAM ISLAM
KESALAHAN



Faktual
Solusi

Akar
Masalah

Kelemahan Paradigma
ASAS
Antrophosentris
Sekuleristik
TUJUAN/ ARAH
Hedonis, materialistik, individualistic
Jahiliyyah
ASAS

TUJUAN/ARAH
Tauhid
Aqidah Salimah

Integralistik antara ranah :
Ø Ruhiyqh - spiritual&emosional
Ø Aqliyah - intelektual
Ø Jismiyah - Keterampilan
KONTINYUITAS TK - PT
Lingkungan/Institusi
Sekolah
Keluarga

Masyarakat






























Gambar 2. Bagan Skematis Akar Masalah Pendidikan dan Solusi
Dengan demikian 2 permasalah yang arus dibenahi. Pertama, merevisi paradigma pendidikan yang keliru, sampai kepada tataran implementasi operasional di lapangan. Kedua, mengoptimalisasikan peran/fugsi institusi/lingkungan pendidikan terhadap pertumbuhan anak didik serta mengoptimalkan sinergi dari masing-masing institusi/lingkungan pendidikan tersebut. Karena masing-masing institusi/lingkungan pendidikan akan terkait dan berpengaruh satu sama lain secara timbal balik.
Karena itu pula, secara paradigmatik, penyelesaian problem pendidikan secara Islami hanya dapat diujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh melalui perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma pendidikan Islam, mempertajam arah/tujuan pendidikan Islam Integral mulai sejak TK-PT serta mengoptimalkan peran/fungsi ketiga lingkungan/institusi pendidikan yakni sekolah, keluarga dan masyarakat.

Solusi pada Tataran Paradigmatik.
Dari seluruh permasalahan yang ada dalam pendidikan, yang pertama harus ditata kembali adalah lemahnya pemahaman paradigma pendidikan Islam oleh para pelaku pendidikan yakni guru/dosen, orang tua dan masyarakat. Padahal tataran paradigamatik inilah yang akan memberi visi, misi dan orientasi proses pendidkan yang dilaksanakan. Karena itu kekeliruan paradigmatik pendidikan akibatnya akan sangat fatal. Pengaruh yang ditimbulkan bukan hanya terhadap individu peserta didik, tetapi juga teradap sistem kehidupan yang dibangun oleh peserta didik tersebut.
Secara paradigmatik, pendidikan harus ditata berlandaskan asas tauhid yakni suatu asas yang menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya sumber ilmu. Allah SWT adalah sumber segala sumber. Dialah yang memberi ilmu, menetapkan metode berilmu serta memfokuskan arah tujuan pemanfaatan ilmu tersebut. Pandangan terhadap kehidupan dunia (world view), pemahaman, penghayatan serta implentasi ilmu dalam pola sikap, ucap dan tindakan, harus selalu mentauhidkan dan mengagungkan Allah SWT.
Asas tauhid ini merupakan landasan, jiwa dan ortientasi pendidikan. Karena subyek sekaligus obyeknya pendidikan adalah manusia, maka memaknai hakekat manusia juga harus berdasarkan tauhid, berdasar ilmu/ketetapan Allah SWT sebagai pencipta manusia, bukan atas presepsi manusia. Manusia memiliki status dan fungsi hidup sebagi abdullah dan khalifatullah. Sebagai Abdullah, manusia dituntut mengarahkan totalitas kehidupannya semata-mata untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah SWT. Sebagai khalifatullah, manusia dituntun untuk memakmurkan, menegakkan keadilan dan menebarkan rahmat untuk semesta alam. Dalam rangka mengemban amanat tersebut, diperlukan kemampuan berupa tumbuh dan berkembangnya aspek-aspek dan instrumen manusia secara integral dan seimbang, yaitu aspek ruhiyah, aqliyah dan jismiyah. Dengan demikian kemampuan yang dimiliki manusia dengan tumbuh dan berkembangnya intrumen keilmuannya, adalah dalam rangka memerankan secara fungsional dan integratif sebagai Abdullah dan sebagai khalifahtullah.
Sedangkan pada pendidikan sekularistik antroposentis, menunjukkan bahwa selain dari cara pandang kehidupan yang keliru, yaitu berupa cara pandang sekuler, memisahkan dimensi akherat (imtak) dan dunia (iptek) didalamnya , bahkan meniadakan dimensi ketuhanan. Cara pandang tersebut hanya didasari oleh subjektivitas pribadi sebagai manusia yang serba sangat terbatas. Cara pandang inilah yang melahirkan tata sosial yang individualistik, ekonomi kapitalistik, budaya hedonistik, dan pendidikan sekularistik. Aspek spiritualitas tauhidnya hilang, sedangkan aspek ini yang akan melandasi, menjiwai dan menginspirasikan pengembangan aspek-aspek lainnya (Intelektual dan keterampilan) dan sekaligus menjadi landasan kebermaknaan, atau norma-norma kemampuan aspek lainnya.
Pendidikan yang sekuleristik (Gambar 3.a. Bagan Faktual Orientasi Pendidikan. Sekuleristik) aspek ruhiyah atau spiritual yang dipisahkan dengan aspek lainnya diposisikan berbeda dimensi (agama – non agama) dengan proporsi sangat tidak seimbang yang menyebabkan kegagalan pembentukan karakter dan kepribadian siswa.(Gambar 3.b. Bagan Ideal Orientasi Pendidikan. Integral).
Aspek ruhiyah, aqliyah dan jismiyah merupakan satu kesatuan yang utuh dan seimbang. Aspek ruhiyah atau aspek spiritual adalah aspek-aspek yang berhubungan dengan dirosah Islamiyah (study Islam), penanaman aqudatut tauhid, akhlaqulkarimah , kekuatan ibadah dan kepribadian Islam. Aspek aqliyah adalah aspek yang berhubungan dengan daya pikir, atau intelektual, sehingga merupakan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi yang berubungan dengan rasionalitas-objektif (ilmiyah), seperti ilmu-ilmu yang berkembang saat ini (ilmul yaqien), merupakan dasar pengetahuan empris, yang merupakan pembuktian ilmu-ilmu naqliyah dalam kehidupan (’ainul yaqien), serta berdimensi suprarasional atau metaempiris (haqqul yaqien). Aspek jismiyah adalah aspek-aspek yang behubungan dengan keterampilan fisik, ilmu-ilmu terapan, atau skill dalam bidang tertentu.


Ruhiyah
Spiritual
Jismiyah
Ketrampilan

Aqliyah
Intelektual


INSAN
SEKULER













Gambar 3a. Bagan orientasi pendidikan sekular

Aspek-aspek tersebut satu sama lain tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan. Integralitas dan keseimbangan aspek-aspek tersebut akan membentuk kepribadian peserta didik. Kemampuan dan kualitas aspek-aspek tersebut akan menentukan tingkat peran dan fungsionalnya -secara pribadi-, terhadap lingkungan sosial dan alamnya.






Ruhiyah
Spiritual
Jismiyah
Ketrampilan





















-+

Aqliyah
Intelektual


INSAN KAMIL












Gambar 3.b. Bagan Ideal Orientasi Pendidikan. Integral

Solusi pada Tataran Strategi Fungsional, Pendidikan Alternatif.
Secara faktual, pendidikan melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, sesuai dengan proporsi peran dan keterlibatan serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak didik.
. Gambar 4.a. Bagan Faktual 3 Unsur Pelaksana Pendidikan. Sinergi Pengaruh Negatif, menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan saat ini, dimana ketiga unsur pelaksana tersebut belum berjalan secara sinergis dan masing-masing unsur tersebut belum berfungsi secara benar. Karena di tengah masyarakat terjadi interaksi antar ketiganya, maka kenegatifan masing-masing itu juga memberikan pengaruh kepada unsur pelaksana pendidikan yang lain. Maksudnya, buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba dan sebagainya. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah menjadi tidak efektif lagi. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang intensif dan optimal, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.

I.
Aqliyah
Kognitif

Cerdas
Iman dan Taqwa
Terampil
Tujuan Pendidikan Integral Hidayatullah

Unsur Manusia
Materi

Insan Kamil
Ilmu Tehnik
Ketrampilan
Ilmu diniyah Islamiyah
Ilmu Pendidikan Umum
Kompetensi
Ruhiyah
Afektif

Jismiyah
Psikomotorik




























Gambar 3.c. Bagan Solusi Orientasi Pendidikan. Optimasi dan Integrasi.



Kelemahan strategi fungsional terjadi pada tiga institusi pendidikan, yaitu;
Keluarga
Pendidikan di keluarga merupakan dasar penanaman dan pengembangan kepribadian anak didik. Bahkan keluarga merupakan lahan yang pertama kali harus menanamkan nilai-nilai kehidupan baik itu berupa aspek ruhiyah/spiritual yang membangun kekuatan mental spiritual, aspek ilmiyah/intelektual yang membangun kecerdasan dan aspek jismiyah/fisik yang keterampilan, ketangkasan dan kesehatan peserta didik. Pendidik salam keluarga merupakan tanggung jawab orang tua/wali murid. Misalnya terdiri dari ayah, ibu, saudara, kakek, nenek, dll. Lingkungan keluarga tersebut memiliki peran dan fungsi yang spesifik dan mendasar dalam proses pertumbuhan dan pekembangan anak didik.
Sekolah
Sekolah selain sebagai lingkungan sosial, juga merupakan institusi pendidikan formal. Karena itu peranan sekolah dalam fungsi pendidikan terkait erat dengan standarisasi seluruh komponen yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah.
Adapun komponen-komponen dalam pengelolaan sekolah yang menyangkut proses belajar mengajar dan transformasi nilai terdiri dari :
(a) Lingkungan sosial sekolah. Dalam hal ini biasanya dijabarkan dalam bentuk tata tertib dan budaya sekolah. Para guru dan karyawan merupakan contoh/suri taudan dalam pelaksanaan tata tertib dan budaya sekolah. Oleh itu para guru dan karyawan adalah pihak yang pertama-tama harus memahami dan melaksanakan tata tertib dan budaya sekolah.
(b) Instrumen yang terdiri dari Guru, kurikulum dan pendekatan/startegi/metodologi belajar mengajar beserta sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
(c). Manajemen yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi kinerja sekolah beserta pelaksananya.
Masyarakat.
Masyarakat dalam hal ini adalah masyarakat secara luas. Kualitas pendidikan, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat di sekitar sekolah akan mempengaruhi kualitas sekolah/pendidikan.

Kelemahan pada unsur keluarga tampak dari lalainya para orang tua untuk secara sungguh-sungguh menanamkan dasar-dasar nilai islam, yang terdiri atas nilai tauhid, ibadah, syari’ah dan akhlaqul karimah yang memadai kepada anak-anak. Terdapat kekurangan pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak yang akan berkait erat dengan proses pendidikan atau perlakuan yang sesuai dengan fase-fase yang sesuai. Terdapat kelemahan pengawasan terhadap pergaulan anak serta minimnya teladan dari orang tua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya. Semua hal tersebut semakin memperparah terjadinya disfungsi keluarga sebagai salah satu unsur terpenting pelaksanaan pendidikan.
Lemahnya fungsi pendidikan formal di sekolah, tercermin dari kelemahan instrumen pendidikan yakni kurikulum sekuler, guru-guru dan karyawan yang tidak berakhlaq dan berpenampilan islami serta metode pembelajaran yang dilakukan tidak benar/baik/menarik/integral. Juga terdapat kelemahan dalam hal tersedianya sarana dan prasarana yang memadai demi berlangsungnya proses belajar-mengajar yang Islami, menyenangkan dan berkesan.
Lemahnya kurikulum berawal dari asasnya yang sekuler, kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya kepada proses penguasaan tsaqofah/pengetahuan Islam untuk mbentuk kepribadian Islam peserta didik. Tidak berfungsinya guru dalam proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak lagi sebagai pendidik yang berfungsi mentransfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pembentuk kepribadian (transfer of values). Hal ini karena sikap, nilai-nilai dan kepribadian guru sudah menyimpang dan tidak lagi pantas diteladani.
Lingkungan fisik sekolah yang tidak tertata dan terkondisi secara Islami (karena diabaikannya sarana utama yang tidak diperhatikan yaitu adanya masjid/mushola) telah menumbuhkan budaya yang tidak memacu pada proses pembentukan kepribadian Islam siswa. Akumulasi kelemahan pada unsur sekolah itu menyebabkan tidak optimalnya pencapaian tujuan pendidikan yang kita cita-citakan.
-
Kelemahan yang terjadi pada unsur masyarakat tampak dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak peduli pada norma Islam; berita-berita pada media masa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi, pornoaksi dan kekerasan. Sangat langka tayangan atau berita yang dapat menjadi teladan positif untuk masyarakat.
RUMAH
(-)




-

SEKOLAH
(-)
MASYARAKAT
(-)


-


Gambar 4.a. Bagan Faktual 3 Unsur Pelaksana Pendidikan.
Sinergi Pengaruh Negatif.

Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik.
Sementara -- sesuai dengan arahan Islam -- pendidikan seharusnya dapat mengkondisikan anak didik dalam pengaruh yang positif dari semua unsur pelaksana pendidikan sebagaimana tampak pada Gambar 4.b. Bagan Ideal 3 Unsur Pelaksana Pendidikan. Sinergi Pengaruh Positif agar arah dan tujuan pendidikan tercapai.

Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas harus diatasi. Gambar 4.c. Bagan Solusi, Pendidikan Integral. Alternatif Idealis, memberikan skema solusi optimal yang berangkat dari kondisi obyektif saat ini. Solusi strategi fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu pola pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni:



RUMAH
(+)
MASYARAKAT
(+)
SEKOLAH
(+)
+
+
+
+
+
+














Gambar 4.b. Bagan Ideal 3 Unsur Pelaksana Pendidikan.
Sinergi Pengaruh Positif.

Pertama, Kembali kepada paradigma pendidikan islam, yang kemudian diejawantahkan ke dalam institusi-institusi pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat), serta dalam komponen-komponen pengelolaan sebuah institusi pendidikan, Seperti pada komponen-komponen institusi sekolah, yaitu dengan cara seluruh komponen pendidikan dan membangun lembaga pendidikan unggulan dengan semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) instrumennya, (2) lingkungan sosial sekolahnya, (3) manajerialnya.
Kedua, memciptakan miniatur masyarakat islam sebagai “homebase”, yang didalamnya ada institusi-institusi pendidikan berupa sekolah, masyarakat binaan dan keluarga anak didik dalam manipulasi berupa kepengasuhan dan masjid. Struktur sosial yang ada terdiri kepemimpinan formal yang difigurkan leh pengelola sekolah, kepemimpian non formal berupa kepengasuhan dan kepemimpinan informal dipegang oleh Kiyai (Al Ustadz). Peran dan fungsi kiyai tersebut dalam yang memberikan spirit optimalisasi peranan pendidikan secara keseluruhan. “Homebase” ini diharapkan mampu menumbuhkembangkan secara optimal aspek aspek instrumentasi manusia berupa ruhiyah, aqliyahl dan jismiah.




SEKOLAH




MASJID
ASRAMA/
KELUARGA




Masyarakat Binaan/Warga Pesantren



Kampus Pendidikan
Intergral






Gambar 4c. Bagan Solusi, Pendidikan Integral



Related Posts



0 komentar:

Posting Komentar